Rabu, 08 April 2015

Panggilan itu...

“Azzim, lo mau kemana? Buru-buru amat sih.” Cinta terus saja menghalangiku untuk pergi.
“Gue tanya lo mau kemana?” ia sekarang menghalangi jalanku dengan kakinya. Ah anak ini, selalu saja buatku tak bisa bebas.
“Ta, aku mau ke toilet. Mau ikut?” Cinta pun menendang kakiku sambil berlalu keluar kelas setelah mendengar jawabanku.
“Dasar bocah!” Ya, gadis tadi adalah adikku. Adik satu-satunya yang kupunya. Ia orang yang sangat ceroboh. Dan cinta selalu saja melakukan hal-hal konyol yang tak pernah kuduga. Pernah suatu ketika, ia mencoba memakai seragam laki-laki ke sekolah. Alhasil seisi sekolah menertawainya. Ia juga tak pernah mau memanggilku dengan sebutan kakak. Padahal ayah dan bunda bersikeras menyuruhnya memanggilku kakak. Ia begitu bukan karena tanpa alasan. Kami lahir ditahun yang sama dan jarak kelahiran kami hanya selang beberapa bulan. Cinta lahir 11 bulan setelah aku lahir. Itulah mengapa ia selalu enggan memanggilku kakak. Aku sendiri tak terlalu mempermasalahkannya. Toh, kami juga selalu dalam angkatan yang sama di sekolah.
***
“Azzim, bunda bilang ntar pulang sekolah kita disuruh ke toko bunda” Cinta duduk didepanku sambil meminum jus melonku.
“Kan ada les tambahan, Ta. Bilang aja sama bunda gak bisa.” Aku masih tetap sibuk baca novel tanpa terlalu menghiraukan cinta.
“Yaudah kalo lo gamau. Gue aja yang pergi.” Cinta pun pergi dari kantin sambil membawa jus melonku.
***
“Azzim, gue pulang duluan ya. Kata bunda kalo udah selesai tambahannya langsung ke toko. Oh ya gue pulang bareng Rio, jadi gausah khawatir.” Cinta langsung pulang tanpa menunggu jawabanku.
“Ta, bareng aku aja. Aku gajadi tambahan,” akupun mengejar cinta yang sudah keluar kelas duluan.
“Ta, tunggu!” teriakku.
“Apaan sih, zZm? Rio udah nunggu tuh, gaenak gue.”
“Bareng aku aja, yuk!” kutarik tangan Cinta walaupun ia terus saja berusaha melepaskannya.
“Udah diem aja. Aku ragu sama rio, barengan aja biar bunda ga khawatir. Udah naik sana!” kamipun pergi ke toko bunda bersama. Walaupun selama perjalanan cinta terus saja memukulku karena menggagalkan rencananya pulang dengan rio. Aku sedikit tak suka dengan rio, ia dikenal playboy.
“Zim, berenti dulu deh,” Cinta menepuk pundakku.
“Emangnya kenapa, Ta?” akupun memberhentikan motorku dipinggir jalan, dekat dengan toko barang pecah belah.
“Bunda tadi pesen minta dibeliin vas bunga katanya,” kami pun turun dan masuk ke toko itu. Setelah memilih beberapa vas bunga, pilihan kami akhirnya jatuh di vas berwarna coklat tua dengan motif abstrak.
“Diisi sama bunga apa ya Zim bagusnya?” tanya Cinta disela-sela pemilihan vas
“Kamu yang cewek kok malah nanya ke aku. Coba telfon bunda, kali aja bunda mau pesen bunganya juga sekalian.”
“Ah iya, yaudah tunggu bentar ya,” sambil mengeluarkan handphone ia memegang vas itu.
“Sini aku aja yang pegang,” aku pun memegang vas coklat itu dan Cinta juga masih memegangnya. Seketika semuanya berubah menjadi bangunan-bangunan yang berbeda.

“Azzim, kita dimana?” tanya Cinta panik.
“Tenang Ta, kamu gabakalan kenapa-kenapa. Ada aku disini,” akupun memegang tangan Cinta dan langsung mencari hp ku ditas.
“Ah sial! Aku lupa bawa hp ta. Coba kamu telfon bunda pake hpmu,” Cinta pun mengeluarkan hpnya.
“Zim, ga ada sinyal disini,” Cinta menggoyang-goyangkan hpnya.
“ini daerah apa sih? Kok kita bisa disini,” Cinta terus saja ketakutan dan hampir menangis.
“Udah lah Ta, nanti juga kita bakal ketemu jalan keluarnya,” aku mencoba menenangkan cinta.
Tiba-tiba seorang anak perempuan sekitar umur 4 tahunan yang memakai gaun lengkap dengan pernak-pernik gaun. Anak perempuan itu menangis sambil memegang sebuah mobilan. Kami pun menghampirinya.
“Adik kecil, kok nangis?” tanyaku pada anak perempuan itu.
“Kakak cantik itu juga nangis, hiks..hiks... mainanku diambil bunda.”
“Kakak cantik ga nangis kok dek, jadi kamu stop dong nangisnya,” bujukku sambil memegang pundaknya.
“Ini mobilan siapa?” Cinta tiba-tiba bertanya. “Ini mirip mobilanku dulu, Zim.” Cinta mengambil mobilan dari anak itu.
“Ta, mobilan begini mah banyak. Kamu tuh ya dari dulu sampe sekarang gaberubah. Selalu heboh kalo liat mobilan.”
“Dek, kalo boleh tau rumah kamu dimana?” Cinta tak menghiraukanku malah langsung menginterogasi anak itu.
“Kakak-kakak ini siapa? Kata bunda aku gaboleh ngobrol sama orang asing,” anak itu pergi meninggalkan kami berdua.
“Zim, coba kita ikutin aja, aku curiga sama dia.” Cinta menarikku mengikuti anak itu. Dan sampailah kami didepan sebuah rumah. Didekat pagar rumah itu ada koran. Akupun mengambil koran itu.
“8 april 2001. Ta, ini koran udah usang banget. Masa iya 2001?” heranku melihat koran terbitan tahun 2001.
“Zim, liat deh beritanya!” Cinta menunjuk salah satu header berita di koran itu.
“Itu bukannya ayah ya?” aku memastikan foto yang ada di koran itu.
“Iya itu ayah!” yakin cinta. “ayah dulu ganteng banget ya waktu mudanya,” lanjut Cinta.
“Iyalah anaknya aja ganteng gini hahahaha,” kamipun tertawa dan tiba-tiba ayah dan bunda keluar dari rumah itu.
“Ayah!” panggil Cinta dan langsung menghampiri ayah. Namun, dibelakang mereka ada dua anak laki-laki dan satu anak perempuan.
“Kamu siapa?” ayah mengamati cinta yang bengong tak percaya.
“Bunda, ini Cinta. Ayah, ini Cinta. Ini Azzim,” Cinta meyakinkan ayah dan bunda sambil mengeluarkan handphonenya.
“Ini foto kita berempat waktu liburan ke bali tahun lalu.” Cinta menunjukkan walpaper hpnya.
“Aku Cinta, kakak siapa?” anak perempuan kecil tadi menarik tangan bundanya.
“Kak Robby, ayo masuk. Ayah, ayo masuk. Bunda, gak usah didengerin mereka. Nanti kita terlambat datang ke pestanya.” Anak perempuan yang mengaku cinta tadi langsung masuk ke mobil.
“Bunda, ayah, tapi ini beneran Cinta. Tadi bunda telfon Cinta dan suruh Cinta buat ke toko, bunda bunda!” Cinta terus saja memanggil mereka dan mengejar mobil yang telah jauh meninggalkan pekarangan rumah itu. Tapi disitu masih ada seorang anak laki-laki yang tak asing bagiku.
“Kamu siapa?” tanyaku padanya.
“Namaku azzim,” balasnya sambil menyuruh kami masuk kerumah itu.
“Zim, gue beneran takut sekarang. Sebenernya kita ada dimana. Cinta mau pulang!” cinta masih saja parno dengan situasi sekarang.
“Udah masuk dulu aja. Seengganya kita ada dirumah bunda sama ayah,” bujukku dan kamipun masuk kerumah kami dulu. Ternyata kami terlempar kemasa dimana kami masih berusia 4 tahun. Kami terlempar jauh ke 14 tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 2001. Azzim kecil, merupakan kembaran Robby, namun Azzim selalu nolak untuk ikut pergi kemana-mana. Ia berbeda dengan Robby dan adiknya, Cinta.

Kringg kringg “Selamat siang dengan kediaman bapak Amri dan ibu Tina dengan 2 anak laki-laki dan satu anak perempuan ini dengan bik Ayem ada yang bisa dibantu,...” bik Ayem  menjawab telfon dan terlihat wajahnya berubah menjadi pucat. “Iya pak, saya segera kesana,” telfon ditutup dan bik Ayem langsung mengajak kami kesuatu tempat dengan taxi. Ternyata kami dibawa kerumah sakit.
“Zim, siapa yang sakit?” Cinta bawel daritadi gaberenti nanya.
“Bik, sebenernya ada apa?” tanyaku pada bik Ayem, rasanya aneh bisa liat bik ayem 14 tahun yang lalu.
“Mobil tuan kecelakaan, den” bik Ayem terbata-bata memberitahukannya.
“What?! Mobil ayah kecelakaan? Terus gimana? Gimana bik?” Cinta menggoyang-goyangkan tubuh bik ayem.
“Kita berdo’a saja ya non,” balas bik Ayem singkat. Kami pun bergegas keruang operasi dan disana sudah ada ayah sama bunda.
“Azzim, sini nak,” bunda menggendong azzim kecil sambil menangis.
“Bunda kenapa?” tanya Azzim kecil
“Robby sama Cinta, didalam nak, sedang operasi.”
“Loh kok ak dioperasi bun?” tanya Cinta terburu-buru. “Bun ceritain!” bentak Cinta.
“Tadi ayah turun mau beli oleh-oleh buat Azzim, tapi dompet ayah tinggal dimobil jadi ayah suruh bunda buat nganterin dompet ayah. Waktu bunda nganterin dompet ayah tiba-tiba ada mobil truk oleng dan menabrak mobil kita. Robby sama Cinta ada didalam mobil.... Maafin ayah... Ini salahh ayah...” ayah yang selama ini aku lihat tegar, kuat, dan satu-satunya orang paling bijaksana menangis. Sakit rasanya melihat ayah menangis. Tapi kok aku gaingat sama sekali dengan kejadian ini. Apa aku terkena penyakit lupa ingatan atau apa.
“Azzim... bunda sayang sama azzim,” isak bunda sambil terus memeluk azzim kecil. Dokter pun keluar dari ruang operasi.
“Anak laki-laki ibu dan bapak tidak bisa diselamatkan. Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa. Namun, benturan di kepalanya membuatnya kehilangan banyak darah.”
“Nggak!!! Robby gak mungkin meninggal dok! Dokter jangan bohong!” bunda histeris mendengar ucapan dokter itu. Aku masih saja bengong tak mengerti dengan situasi ini. Siapa robby? Apa aku punya saudara laki-laki?
“Bagaimana dengan Cinta dok?” ayah bertanya dengan dokter.
“Anak perempuan bapak membutuhkan banyak darah, sekarang sedang disiapkan operasi kedua untuk memperbaiki sel-sel otaknya yang terkena tumburan. Untungnya anak perempuan bapak masih bisa bertahan.” dokter itupun masuk kembali keruang operasi.
“Bunda...” Cinta memeluk bunda yang tersungkur di lantai.
“Cinta...Robby...” isak bunda.
Malamnya, aku dan Cinta tetap di rs menemani Cinta kecil. Sedangkan ayah dan bunda pulang kerumah untuk mengurusi pemakaman Robby. Azzim kecil ada bersama kami.
“Cinta, kamu harus sadar, kalo kamu sadar, aku janji bakalan pinjemin mobil-mobilan aku ke kamu. Aku juga janji gabakalan marah kalo kamu gamau panggil aku kakak. Aku juga janji bakalan jagain kamu. Aku janji akan jadi kakak yang baik seperti robby. Tapi kamu janji sama aku, kamu harus sadar ya!” Azzim kecil membelai rambut cinta kecil. Ah segitu lebaynya kah aku dulu? Aku hanya senyum-senyum melihat tingkahku dulu.
“Apa-apaan tuh, sok bijak lu Zim,” Cinta menyikut sikuku sambil menjulurkan lidahnya.
“Tapi... aku bakalan bahagia bahagia bahagia kalo kamu mau manggil aku kakak, aku selama ini iri sama Robby yang selalu kamu panggil kakak. Hanya karena umur kita Cuma beda 11 bulan, kamu gamau manggil aku kakak. Kan aku juga kakak kamu...” Azzim kecil melanjutkan kalimatnya. Akupun melihat cinta yang sedang tersenyum melihat kejadian 14 tahun yang lalu.
“Zim, gue mau nyatain sesuatu nih,” Cinta menarikku keluar ruangan.
“Apaan sih, Ta?” tanyaku sambil melepaskan genggaman tangan cinta.
“Mulai sekarang gue bakalan manggil lo dengan sebutan kakak. Kakak azzim, ah gak, gue panggil lo abang aja. Okee!” Cinta menyenggol sikuku dan tiba-tiba memelukku. “Gue tuh sayangnya pake banget sama lo bang. Gue selama ini gamanggil lo dengan sebutan kakak karena lo gapernah marah kalo gue panggil nama. Coba lo bilang dari dulu kalo lo pengen banget dipanggil kakak, kan gue bakalan manggil lo dengan sebutan kakak,” Cinta masih memelukku erat.
“Aku udah bilang kok ke kamu Ta, tadi buktinya,” aku membalas pelukan cinta.
“Aku tau kok kalo kamu tuh sayangnya banget ke aku. Cuma kamunya aja yang gapernah nunjukinnya, iya kan?” ejekku pada Cinta.
“Eh hahahha baidewei, gimana caranya kita balik ke masa kini bang?” tanya Cinta sambil melepaskan pelukannya.
***
Kringg kringg
“AZZIM!!!!!” pekik cinta yang membuat telingaku sakit
“Apaan sih, Ta? Eh kita kok masih di toko ini?” tanyaku heran.
“Emangnya mau dimana? Di kebon jeruk? Nih, vas nya pegangi tolong. Aku mau telfon bunda dulu.” Cinta memberikan vas bunga itu. Ah apa tadi itu hanya ilusiku saja?
“Ta, kita daritadi disini aja ya? Gakemana-mana gitu?”
“Ngomong apasih Zim? Sakit ya lo?” Cinta menempelkan tangannya ke dahiku.
“Ah Cuma perasaan aku aja berarti. Yaudah ayo bayar vas nya kita langsung ke toko bunda. Tiba-tiba aku kangen akut sama bunda,” ajakku pada cinta. Kamipun pergi ketoko bunda.
“Bang, diem-diem aja ya. Jangan kasih tau bunda tentang kejadian tadi,” Cinta membuka pembicaraan di perjalanan.
“Kejadian apa?” tanyaku heran.
“Duh, abang Azzimku sayang, lupa sama janjinya dulu? Katanya mau..” aku langsung menyetop motor mendadak dan menatap cinta.
“Jadi yang tadi itu bukan khayalanku aja, Ta?” mataku melotot tak percaya.
“Udah cepet jalan, ntar bunda beneran khawatir sama kita.” Cinta tersenyum lalu menepuk pundakku.
***
“Bundaaa!” sesampainya di toko bunda kami langsung memeluk bunda.
“Kami sayang bunda sama ayah,” hampir berbarengan kami mengatakannya.
“Bun, abang Azzim ternyata orangnya romantis ya bun,” ejek cinta sambil menjulurkan lidahnya.
“Loh emangnya kenapa? Eh tadi kamu manggil abang Azzim? Wah ada apa nih?” senyum bunda usil.
Kami hanya tersenyum lalu tertawa bersama.

*****


well done. sebenernya udah niat buat ikutan #RabuMenulis spesial author mbak Tyas. Tapi mau dikatakan apalagi hehehe ketiduran disaat acara dilangsungkan. Alhasil jadi nulis cerita gaje ini aja seenggaknya ikutan euforia #RabuMenulis aja yaa wkwk selamat membaca dan maaf kalo ceritanya absurd, namanya juga belajar :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ultah nih ultah niye~

Teruntuk kamu, yang hari ini genap berusia dua-puluh-dua tahun. How's there? Semoga urusan per-skripsi-an diperlancar dan segera meng...