“Azzim, lo mau kemana? Buru-buru
amat sih.” Cinta terus saja menghalangiku untuk pergi.
“Gue tanya lo mau kemana?” ia
sekarang menghalangi jalanku dengan kakinya. Ah anak ini, selalu saja buatku
tak bisa bebas.
“Ta, aku mau ke toilet. Mau ikut?” Cinta
pun menendang kakiku sambil berlalu keluar kelas setelah mendengar jawabanku.
“Dasar bocah!” Ya, gadis tadi adalah
adikku. Adik satu-satunya yang kupunya. Ia orang yang sangat ceroboh. Dan cinta
selalu saja melakukan hal-hal konyol yang tak pernah kuduga. Pernah suatu
ketika, ia mencoba memakai seragam laki-laki ke sekolah. Alhasil seisi sekolah
menertawainya. Ia juga tak pernah mau memanggilku dengan sebutan kakak. Padahal
ayah dan bunda bersikeras menyuruhnya memanggilku kakak. Ia begitu bukan karena
tanpa alasan. Kami lahir ditahun yang sama dan jarak kelahiran kami hanya
selang beberapa bulan. Cinta lahir 11 bulan setelah aku lahir. Itulah mengapa
ia selalu enggan memanggilku kakak. Aku sendiri tak terlalu
mempermasalahkannya. Toh, kami juga selalu dalam angkatan yang sama di sekolah.
***
“Azzim, bunda bilang ntar pulang
sekolah kita disuruh ke toko bunda” Cinta duduk didepanku sambil meminum jus
melonku.
“Kan ada les tambahan, Ta. Bilang
aja sama bunda gak bisa.” Aku masih tetap sibuk baca novel tanpa terlalu
menghiraukan cinta.
“Yaudah kalo lo gamau. Gue aja yang
pergi.” Cinta pun pergi dari kantin sambil membawa jus melonku.
***
“Azzim, gue pulang duluan ya. Kata
bunda kalo udah selesai tambahannya langsung ke toko. Oh ya gue pulang bareng
Rio, jadi gausah khawatir.” Cinta langsung pulang tanpa menunggu jawabanku.
“Ta, bareng aku aja. Aku gajadi
tambahan,” akupun mengejar cinta yang sudah keluar kelas duluan.
“Ta, tunggu!” teriakku.
“Apaan sih, zZm? Rio udah nunggu
tuh, gaenak gue.”
“Bareng aku aja, yuk!” kutarik
tangan Cinta walaupun ia terus saja berusaha melepaskannya.
“Udah diem aja. Aku ragu sama rio,
barengan aja biar bunda ga khawatir. Udah naik sana!” kamipun pergi ke toko
bunda bersama. Walaupun selama perjalanan cinta terus saja memukulku karena menggagalkan
rencananya pulang dengan rio. Aku sedikit tak suka dengan rio, ia dikenal
playboy.
“Zim, berenti dulu deh,” Cinta
menepuk pundakku.
“Emangnya kenapa, Ta?” akupun
memberhentikan motorku dipinggir jalan, dekat dengan toko barang pecah belah.
“Bunda tadi pesen minta dibeliin vas
bunga katanya,” kami pun turun dan masuk ke toko itu. Setelah memilih beberapa
vas bunga, pilihan kami akhirnya jatuh di vas berwarna coklat tua dengan motif
abstrak.
“Diisi sama bunga apa ya Zim
bagusnya?” tanya Cinta disela-sela pemilihan vas
“Kamu yang cewek kok malah nanya ke
aku. Coba telfon bunda, kali aja bunda mau pesen bunganya juga sekalian.”
“Ah iya, yaudah tunggu bentar ya,”
sambil mengeluarkan handphone ia memegang vas itu.
“Sini aku aja yang pegang,” aku pun memegang
vas coklat itu dan Cinta juga masih memegangnya. Seketika semuanya berubah
menjadi bangunan-bangunan yang berbeda.
“Azzim, kita dimana?” tanya Cinta
panik.
“Tenang Ta, kamu gabakalan
kenapa-kenapa. Ada aku disini,” akupun memegang tangan Cinta dan langsung
mencari hp ku ditas.
“Ah sial! Aku lupa bawa hp ta. Coba
kamu telfon bunda pake hpmu,” Cinta pun mengeluarkan hpnya.
“Zim, ga ada sinyal disini,” Cinta
menggoyang-goyangkan hpnya.
“ini daerah apa sih? Kok kita bisa
disini,” Cinta terus saja ketakutan dan hampir menangis.
“Udah lah Ta, nanti juga kita bakal
ketemu jalan keluarnya,” aku mencoba menenangkan cinta.
Tiba-tiba seorang anak perempuan
sekitar umur 4 tahunan yang memakai gaun lengkap dengan pernak-pernik gaun.
Anak perempuan itu menangis sambil memegang sebuah mobilan. Kami pun
menghampirinya.
“Adik kecil, kok nangis?” tanyaku
pada anak perempuan itu.
“Kakak cantik itu juga nangis,
hiks..hiks... mainanku diambil bunda.”
“Kakak cantik ga nangis kok dek,
jadi kamu stop dong nangisnya,” bujukku sambil memegang pundaknya.
“Ini mobilan siapa?” Cinta tiba-tiba
bertanya. “Ini mirip mobilanku dulu, Zim.” Cinta mengambil mobilan dari anak
itu.
“Ta, mobilan begini mah banyak. Kamu
tuh ya dari dulu sampe sekarang gaberubah. Selalu heboh kalo liat mobilan.”
“Dek, kalo boleh tau rumah kamu
dimana?” Cinta tak menghiraukanku malah langsung menginterogasi anak itu.
“Kakak-kakak ini siapa? Kata bunda
aku gaboleh ngobrol sama orang asing,” anak itu pergi meninggalkan kami berdua.
“Zim, coba kita ikutin aja, aku
curiga sama dia.” Cinta menarikku mengikuti anak itu. Dan sampailah kami
didepan sebuah rumah. Didekat pagar rumah itu ada koran. Akupun mengambil koran
itu.
“8 april 2001. Ta, ini koran udah
usang banget. Masa iya 2001?” heranku melihat koran terbitan tahun 2001.
“Zim, liat deh beritanya!” Cinta
menunjuk salah satu header berita di koran itu.
“Itu bukannya ayah ya?” aku
memastikan foto yang ada di koran itu.
“Iya itu ayah!” yakin cinta. “ayah
dulu ganteng banget ya waktu mudanya,” lanjut Cinta.
“Iyalah anaknya aja ganteng gini
hahahaha,” kamipun tertawa dan tiba-tiba ayah dan bunda keluar dari rumah itu.
“Ayah!” panggil Cinta dan langsung
menghampiri ayah. Namun, dibelakang mereka ada dua anak laki-laki dan satu anak
perempuan.
“Kamu siapa?” ayah mengamati cinta
yang bengong tak percaya.
“Bunda, ini Cinta. Ayah, ini Cinta.
Ini Azzim,” Cinta meyakinkan ayah dan bunda sambil mengeluarkan handphonenya.
“Ini foto kita berempat waktu
liburan ke bali tahun lalu.” Cinta menunjukkan walpaper hpnya.
“Aku Cinta, kakak siapa?” anak
perempuan kecil tadi menarik tangan bundanya.
“Kak Robby, ayo masuk. Ayah, ayo
masuk. Bunda, gak usah didengerin mereka. Nanti kita terlambat datang ke
pestanya.” Anak perempuan yang mengaku cinta tadi langsung masuk ke mobil.
“Bunda, ayah, tapi ini beneran Cinta.
Tadi bunda telfon Cinta dan suruh Cinta buat ke toko, bunda bunda!” Cinta terus
saja memanggil mereka dan mengejar mobil yang telah jauh meninggalkan
pekarangan rumah itu. Tapi disitu masih ada seorang anak laki-laki yang tak asing
bagiku.
“Kamu siapa?” tanyaku padanya.
“Namaku azzim,” balasnya sambil
menyuruh kami masuk kerumah itu.
“Zim, gue beneran takut sekarang.
Sebenernya kita ada dimana. Cinta mau pulang!” cinta masih saja parno dengan
situasi sekarang.
“Udah masuk dulu aja. Seengganya
kita ada dirumah bunda sama ayah,” bujukku dan kamipun masuk kerumah kami dulu.
Ternyata kami terlempar kemasa dimana kami masih berusia 4 tahun. Kami
terlempar jauh ke 14 tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 2001. Azzim kecil,
merupakan kembaran Robby, namun Azzim selalu nolak untuk ikut pergi
kemana-mana. Ia berbeda dengan Robby dan adiknya, Cinta.
Kringg kringg “Selamat siang dengan
kediaman bapak Amri dan ibu Tina dengan 2 anak laki-laki dan satu anak
perempuan ini dengan bik Ayem ada yang bisa dibantu,...” bik Ayem menjawab telfon dan terlihat wajahnya berubah
menjadi pucat. “Iya pak, saya segera kesana,” telfon ditutup dan bik Ayem
langsung mengajak kami kesuatu tempat dengan taxi. Ternyata kami dibawa kerumah
sakit.
“Zim, siapa yang sakit?” Cinta bawel
daritadi gaberenti nanya.
“Bik, sebenernya ada apa?” tanyaku
pada bik Ayem, rasanya aneh bisa liat bik ayem 14 tahun yang lalu.
“Mobil tuan kecelakaan, den” bik Ayem
terbata-bata memberitahukannya.
“What?! Mobil ayah kecelakaan? Terus
gimana? Gimana bik?” Cinta menggoyang-goyangkan tubuh bik ayem.
“Kita berdo’a saja ya non,” balas
bik Ayem singkat. Kami pun bergegas keruang operasi dan disana sudah ada ayah
sama bunda.
“Azzim, sini nak,” bunda menggendong
azzim kecil sambil menangis.
“Bunda kenapa?” tanya Azzim kecil
“Robby sama Cinta, didalam nak,
sedang operasi.”
“Loh kok ak dioperasi bun?” tanya Cinta
terburu-buru. “Bun ceritain!” bentak Cinta.
“Tadi ayah turun mau beli oleh-oleh
buat Azzim, tapi dompet ayah tinggal dimobil jadi ayah suruh bunda buat
nganterin dompet ayah. Waktu bunda nganterin dompet ayah tiba-tiba ada mobil
truk oleng dan menabrak mobil kita. Robby sama Cinta ada didalam mobil....
Maafin ayah... Ini salahh ayah...” ayah yang selama ini aku lihat tegar, kuat,
dan satu-satunya orang paling bijaksana menangis. Sakit rasanya melihat ayah
menangis. Tapi kok aku gaingat sama sekali dengan kejadian ini. Apa aku terkena
penyakit lupa ingatan atau apa.
“Azzim... bunda sayang sama azzim,”
isak bunda sambil terus memeluk azzim kecil. Dokter pun keluar dari ruang
operasi.
“Anak laki-laki ibu dan bapak tidak
bisa diselamatkan. Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa. Namun,
benturan di kepalanya membuatnya kehilangan banyak darah.”
“Nggak!!! Robby gak mungkin
meninggal dok! Dokter jangan bohong!” bunda histeris mendengar ucapan dokter
itu. Aku masih saja bengong tak mengerti dengan situasi ini. Siapa robby? Apa
aku punya saudara laki-laki?
“Bagaimana dengan Cinta dok?” ayah
bertanya dengan dokter.
“Anak perempuan bapak membutuhkan
banyak darah, sekarang sedang disiapkan operasi kedua untuk memperbaiki sel-sel
otaknya yang terkena tumburan. Untungnya anak perempuan bapak masih bisa
bertahan.” dokter itupun masuk kembali keruang operasi.
“Bunda...” Cinta memeluk bunda yang
tersungkur di lantai.
“Cinta...Robby...” isak bunda.
Malamnya, aku dan Cinta tetap di rs
menemani Cinta kecil. Sedangkan ayah dan bunda pulang kerumah untuk mengurusi
pemakaman Robby. Azzim kecil ada bersama kami.
“Cinta, kamu harus sadar, kalo kamu
sadar, aku janji bakalan pinjemin mobil-mobilan aku ke kamu. Aku juga janji
gabakalan marah kalo kamu gamau panggil aku kakak. Aku juga janji bakalan
jagain kamu. Aku janji akan jadi kakak yang baik seperti robby. Tapi kamu janji
sama aku, kamu harus sadar ya!” Azzim kecil membelai rambut cinta kecil. Ah
segitu lebaynya kah aku dulu? Aku hanya senyum-senyum melihat tingkahku dulu.
“Apa-apaan tuh, sok bijak lu Zim,” Cinta
menyikut sikuku sambil menjulurkan lidahnya.
“Tapi... aku bakalan bahagia bahagia
bahagia kalo kamu mau manggil aku kakak, aku selama ini iri sama Robby yang
selalu kamu panggil kakak. Hanya karena umur kita Cuma beda 11 bulan, kamu
gamau manggil aku kakak. Kan aku juga kakak kamu...” Azzim kecil melanjutkan
kalimatnya. Akupun melihat cinta yang sedang tersenyum melihat kejadian 14
tahun yang lalu.
“Zim, gue mau nyatain sesuatu nih,”
Cinta menarikku keluar ruangan.
“Apaan sih, Ta?” tanyaku sambil
melepaskan genggaman tangan cinta.
“Mulai sekarang gue bakalan manggil
lo dengan sebutan kakak. Kakak azzim, ah gak, gue panggil lo abang aja. Okee!”
Cinta menyenggol sikuku dan tiba-tiba memelukku. “Gue tuh sayangnya pake banget
sama lo bang. Gue selama ini gamanggil lo dengan sebutan kakak karena lo
gapernah marah kalo gue panggil nama. Coba lo bilang dari dulu kalo lo pengen
banget dipanggil kakak, kan gue bakalan manggil lo dengan sebutan kakak,” Cinta
masih memelukku erat.
“Aku udah bilang kok ke kamu Ta,
tadi buktinya,” aku membalas pelukan cinta.
“Aku tau kok kalo kamu tuh sayangnya
banget ke aku. Cuma kamunya aja yang gapernah nunjukinnya, iya kan?” ejekku
pada Cinta.
“Eh hahahha baidewei, gimana caranya
kita balik ke masa kini bang?” tanya Cinta sambil melepaskan pelukannya.
***
Kringg kringg
“AZZIM!!!!!” pekik cinta yang
membuat telingaku sakit
“Apaan sih, Ta? Eh kita kok masih di
toko ini?” tanyaku heran.
“Emangnya mau dimana? Di kebon
jeruk? Nih, vas nya pegangi tolong. Aku mau telfon bunda dulu.” Cinta
memberikan vas bunga itu. Ah apa tadi itu hanya ilusiku saja?
“Ta, kita daritadi disini aja ya?
Gakemana-mana gitu?”
“Ngomong apasih Zim? Sakit ya lo?” Cinta
menempelkan tangannya ke dahiku.
“Ah Cuma perasaan aku aja berarti.
Yaudah ayo bayar vas nya kita langsung ke toko bunda. Tiba-tiba aku kangen akut
sama bunda,” ajakku pada cinta. Kamipun pergi ketoko bunda.
“Bang, diem-diem aja ya. Jangan
kasih tau bunda tentang kejadian tadi,” Cinta membuka pembicaraan di perjalanan.
“Kejadian apa?” tanyaku heran.
“Duh, abang Azzimku sayang, lupa
sama janjinya dulu? Katanya mau..” aku langsung menyetop motor mendadak dan menatap
cinta.
“Jadi yang tadi itu bukan khayalanku
aja, Ta?” mataku melotot tak percaya.
“Udah cepet jalan, ntar bunda
beneran khawatir sama kita.” Cinta tersenyum lalu menepuk pundakku.
***
“Bundaaa!” sesampainya di toko bunda
kami langsung memeluk bunda.
“Kami sayang bunda sama ayah,”
hampir berbarengan kami mengatakannya.
“Bun, abang Azzim ternyata orangnya
romantis ya bun,” ejek cinta sambil menjulurkan lidahnya.
“Loh emangnya kenapa? Eh tadi kamu
manggil abang Azzim? Wah ada apa nih?” senyum bunda usil.
Kami hanya tersenyum lalu tertawa
bersama.
*****
well done. sebenernya udah niat buat ikutan #RabuMenulis spesial author mbak Tyas. Tapi mau dikatakan apalagi hehehe ketiduran disaat acara dilangsungkan. Alhasil jadi nulis cerita gaje ini aja seenggaknya ikutan euforia #RabuMenulis aja yaa wkwk selamat membaca dan maaf kalo ceritanya absurd, namanya juga belajar :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar